[116] Menjarah Tanpa Ngaku Penjajah
Meski pernyataan Rektor tersebut sebenarnya bukan hal baru, keberaniannya untuk mengungkap fakta berbeda dengan mainstream menjadi penuh makna.
Indonesia telah merdeka selama lebih dari 68 tahun lamanya. Banyak warga negara berharap ada perubahan yang luar biasa terhadap pembangunan rakyat Indonesia dengan usianya tersebut. Namun kenyataannya justru sebaliknya.
Kekayaan alam Indonesia telah dikuras habis, tapi hasilnya kok tidak signifikan? Kesejahteraan rakyat yang dulu diimpikan tinggal pepesan kosong. Ke mana kekayaan alam yang jumlahnya luar biasa besar itu?
Freeport yang sudah ditambang lebih dari 40 tahun sudah menghasilkan berapa ribu ton emas dan tembaga? Sebagian sumur-sumur migas sudah ditambang dan kini sudah tua. Hasilnya pun tinggal sisa-sisa. Ke mana hasil migas Indonesia yang begitu melimpah puluhan tahun? Benarkah semuanya telah dialokasikan 100 persen untuk seluruh rakyat Indonesia?
Banyak pihak menyangsikan itu. Berbagai analisa muncul dan membeberkan bukti bahwa kekayaan negeri ini telah dibawa lari oleh para penjajah asing. Namun suara mereka yang kritis itu seperti berlalu begitu saja di hadapan para penguasa.
Di tengah senyapnya perbincangan kedaulatan energi negeri ini, tiba-tiba Rektor Universitas Gajah Mada Yogyakarta Prof Pratikno bersuara menyentak. Ia mengungkapkan, 70-80 aset negara Indonesia telah dikuasai asing.
Pernyataan profesor ini kembali menggugah kembali perbincangan tentang kedaulatan negeri ini atas kekayaan yang diberikan oleh Allah SWT. Kali ini kalangan akademika yang berbicara. Selama ini mereka seolah mengikut saja kata penguasa tanpa mau berani mengeluarkan pernyataan kritis.
Meski pernyataan Rektor tersebut sebenarnya bukan hal baru, keberaniannya untuk mengungkap fakta berbeda dengan mainstream menjadi penuh makna. Bukankah selama ini banyak pakar universitas yang begitu memuja investasi asing? Bahkan pilar neoliberalisme di Indonesia diduduki oleh kalangan akademika khususnya yang tergabung dalam Mafia Berkeley.
Berpangkal kepada Sistem
Lalu muncul pertanyaan, mengapa Indonesia yang sudah lama merdeka ini tetap dikuasai asing? Ada yang menyalahkan sisi pemimpinnya. Mereka dianggap mengeluarkan kebijakan demi kepentingan pribadinya. Atau yang paling mudah, mereka dianggap tidak amanah.
Jarang yang mau berpikir lebih dalam sedikit. Ternyata, pemimpin itu tidak bisa apa-apa selama semua kebijakannya telah dipagari dengan rambu-rambu. Rambu-rambu itu merupakan produk legislasi oleh wakil-wakil rakyat.
Nah, manusia-manusia yang menjadi wakil rakyat sekaligus orang-orang partai politik inilah yang menentukan sistem yang berjalan. Apalagi, jika ditengok ke belakang, ternyata Indonesia itu tidaklah merdeka tapi melanjutkan pemerintahan Hindia Belanda. Ini bisa dibuktikan dengan berlakunya hukum Belanda atas Indonesia dalam bentuk KUHP dan juga pemindahan utang pemerintah Belanda selama menjajah Indonesia kepada Indonesia.
Dan sistem legislasi ini berlangsung dalam kendali lembaga internasional yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik atas negeri ini. Lembaga inilah sebenarnya kepanjangan tangan penjajah. Maka, produk-produk legislasi pasti pro kepada pasar, sebagai hal prinsip yang diinginkan Barat.
Maka bisa ditelusur lagi, ternyata sejak Indonesia hingga kini, arah perubahan Indonesia makin mendekat kepada liberalisasi secara sempurna. Semuanya berlangsung secara sistematis dan terencana. Sampai-sampai, bangsa Indonesia pun tak merasa bahwa mereka telah dikadali oleh rezim penguasa mereka sendiri. Mereka tak tahu kekayaan alam mereka digondol kabur oleh asing. Tiba-tiba mereka kaget begitu bumi telah tinggal tanahnya saja.
Ke Mana Nasionalis
Hilangnya harta rakyat bukannya tiba-tiba. Semua berlangsung terbuka dan berproses. Anehnya, para nasionalis yang sering berkoar soal nasionalisme seperti buta terhadap kejadian ini. Mereka tak bersuara. Ke mana mereka?
Apakah mereka tak mengetahui bahwa telah terjadi penjarahan di bumi pertiwi? Atau jangan-jangan mereka diam karena mereka adalah bagian dari penjarah itu?
Partai-partai politik yang hadir sejak zaman Orde Baru, bahkan ada yang lahir sejak Orde Lama pun menganggap biasa sumber pendapatan negara yang begitu besar. Seolah mereka secara koor mengiyakan seluruh kebijakan pemerintah menyerahkan aset negara kepada penjajah.
Pertanyaannya, di mana fungsi partai politik untuk mengawasi pemerintahan? Kalau semua partai politik merapat ke penguasa demi kekuasaan dan uang, siapa yang akan pro kepada rakyat? Banyak pertanyaan yang tak terjawab yang akhirnya menggiring pada kesimpulan bahwa telah terjadi kerusakan akut pada sistem yang berlaku di negeri ini.
Tidak cukup masalah ini diobati dengan diagnosis perorangan. Soalnya yang terkena penyakit bukan satu dua orang. Yang rusak saat ini adalah sistemnya, karena menjadikan sistem kapitalisme sekuler sebagai pilar bernegara. Indonesia sebagai negara tak memiliki jati diri.
Walhasil, kondisi ini hanya bisa diatasi sekaligus yakni ganti sistem dan ganti rezim. Sistem yang baik, apalagi datang dari Yang Maha Baik, pasti akan mendatangkan kebaikan dan membuat orang di dalamnya terbawa baik. Sebaliknya orang baik di tengah sistem yang buruk, pasti dia akan terseret kepada keburukan.
Sekarang pilihannya tinggal dua. Bertahan dengan sistem yang ada, berarti mengikuti alur asing di negeri ini atau memutus hubungan dengan Barat dan membangun sistem sendiri? Orang yang cerdas dan punya kemuliaan akan memilih yang kedua. []
Source: http://mediaumat.com/media-utama/5160-116-menjarah-tanpa-ngaku-penjajah.html